Resensi Buku Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut


Penulis: Dian Purnomo

Tahun terbit: 2023

Penerbit: GPU

Jumlah halaman: 280-an

Judul yang panjang seperti ini mungkin menjadi khas dari Dian Purnomo, sebagaimana judul buku sebelumnya yang tak kalah panjang, Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Walaupun judulnya sama-sama panjang, tetapi kisah satu ini berbeda.

Sinopsis

Novel ini bercerita tentang perjuangan masyarakat di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, dalam melawan dominasi perusahaan tambang. Shalom Mawira, seorang aktivis muda, berjuang bersama warga Sangihe untuk menolak penambangan di kampung halamannya. Dalam perjuangan itu ia bahkan kehilangan pekerjaannya, dan sampai dipenjara. 

Namun, hal itu tidak menyurutkan perjuangan Shalom bersama teman-temannya. Bahkan, jauh sebelum itu, Shalom pernah merasakan kehilangan yang lebih besar yaitu kehilangan ayahnya. Ayahnya pergi melaut dan tak pernah kembali. Shalom yang percaya bahwa ayahnya akan kembali suatu hari nanti, bertekad akan menjaga Sangihe. Agar ketika ayahnya kembali, tanah itu masih seperti dulu. 

Karakter dan Konflik yang Kuat

Di novel terbitan tahun 2023 ini, isu sosial kembali diangkat, tetapi tidak khusus untuk perempuan. Sosok perempuan pemberani, pintar, blak-blakan, sekaligus humoris yang digambarkan dalam tokoh Shalom Mawira menjadi daya tarik tersendiri. 

Karakter Shalom sangat pas dengan isu lingkungan yang diangkat dalam kisah ini. Karena melawan kekuatan perusahaan tambang tentu tidak mudah, dan butuh tokoh muda seperti Shalom. 

Penceritaan novel ini diambil dari sudut pandang Mirah–rekan kerja Shalom–yang berasal dari Jakarta. Mirah sendiri seperti mewakili pembaca yang mungkin tidak akrab dengan isu tambang–karena besar di ibukota. Antara ingin membantu tapi terpentok aturan kantor, ingin memupuk keberanian tapi juga masih ada rasa takut.

Mirah pun membantu semaksimal yang ia bisa lakukan. Namun, rupanya Mirah pun sempat mendapat “teror” karena ikut membantu dalam perjuangan tersebut. 

Melihat Isu Lingkungan dari Dekat

"Torang ni tidur di atas gumpalan emas." (Shalom Mawira)

Membaca buku ini langsung mengingatkan saya dengan buku Tere Liye yang berjudul Teruslah Bodoh Jangan Pintar (TBJP). Sama-sama membahas isu tambang vs penduduk lokal. 

Bedanya, TBJP ibarat menggunakan zoom out, membahas beberapa titik tambang. Sedangkan buku ini membahas konflik di satu wilayah secara mendetail. 

Jika biasanya saya hanya melihat berita di TV atau media online ketika ada warga yang datang jauh dari pelosok untuk berdemo, maka melalui buku ini saya tercerahkan dengan segala background aksi tersebut. Bahwa menahan langkah korporat yang merugikan itu memang berat, perjuangan rakyat kecil memang sulit. 

Ada Manis-Manisnya

Macam air mineral, kisah novel ini pun tak semua pahit getir, tetap ada manis-manisnya. Ada bumbu romansa tipis-tipis nan hangat. Ada pertemanan yang akrab dan kuat. Juga ada setumpuk kesedihan, serta kejutan di bagian akhir. 

Kombinasi itu membuat novel ini tidak terlalu berat, menarik, dan nyaman untuk dibaca santai. Memang sih, dengan dikemas sebagai novel maka akan lebih mudah diterima dan dimengerti oleh pembaca.

Selama membaca novel ini, vibes-nya seperti memoar. Karena hampir tiap akhir babnya ditampilkan foto yang mendukung cerita, membuat kesan yang lebih dalam bagi pembaca. Sekaligus mengingatkan bahwa walaupun dikemas sebagai novel, tetapi konflik penduduk vs perusahaan tambang nyata terjadi.

Overall, novel ini recommended, terutama bagi yang ingin tahu isu-isu seputar tambang di Indonesia, dan lingkungan pada umumnya.

****Disclaimer****

Satu catatan lagi. Karena novel ini berlatar di Sangihe, maka karakternya didominasi oleh nonmuslim. Ada juga membahas ritual-ritual adat yang agak ekstrem dan termasuk syirik akbar menurut Islam. So, kita sebagai muslim harus lebih cermat ya, agar tidak membenarkan hal tersebut. :)

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Lima Hal yang Membuat Bartimaeus Trilogy Menarik