Mencari Ketenangan, Melupakan Sumbernya

 “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28)


Dalam perjalanan pencarian rumah, berpindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan lain, saya dan suami mengobrol dan merenungkan, sebenarnya untuk apa kita berpindah-pindah? Untuk apa membeli rumah? Toh, tidak ada salahnya mengontrak.

Ya, sebenarnya doktrin bahwa membeli rumah adalah sebuah kewajiban itu memang diturunkan dari orang tua saya. Bukan hal yang aneh, ketika orang tua berharap anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Dan bagi ibu saya, kehidupan lebih baik itu salah satunya adalah dengan memiliki rumah sendiri.

Pasalnya, ibu saya sejak dulu hidup di rumah kontrakan. Saya masih ingat, sekitar 22 tahun lalu, pertama kalinya pindah dari rumah yang saya tempati sejak lahir. Kala itu kami pindah karena si pemilik kontrakan ingin membangun ulang area itu, sehingga kami, dan beberapa tetangga, terpaksa pindah. 

Alhamdulillah, kami menemukan kontrakan yang tidak jauh begitu jauh. Walaupun dengan ukuran yang lebih kecil, dan harga sewa lebih mahal, tapi secara kualitas bangunan lebih baik dibanding yang lama. Itu bukan terakhir kalinya, beberapa tahun kemudian, kami pindah lagi, dan beberapa tahun setelahnya lagi. 

Padahal pindahan rumah bukan hal sederhana, sangat repot malah. Namun, mau bagaimana lagi, ketika kondisi memaksa. Mungkin kerepotan itu jugalah yang orang tua saya tidak ingin saya mengalaminya juga. Maka, di mata orang tua, membeli rumah sendiri adalah pilihan terbaik. Titik.

Saya bisa menerima jika orang tua memiliki pandangan seperti itu. Walaupun, seiring berjalannya waktu, hal itu tidak selalu tepat. Kemudian, di sinilah aku sekarang. Kembali merenungi, sebenarnya, kenapa orang tua ingin sekali kami punya rumah sendiri? Well, menurutku, jawabannya adalah karena ingin kami mendapatkan kehidupan yang tenang.

Ketenangan, itulah yang dicari. Tenang karena sudah ada tempat tinggal milik sendiri, tenang karena tidak khawatir akan diusir atau disuruh pindah oleh pemilik kontrakan. Tenang karena rumah nantinya juga bisa diwariskan.

Ya, kami, kita, mencari ketenangan. Hidup yang tentram damai, paling tidak dari sisi kebutuhan primer berupa papan. Sayangnya, dalam pencarian ketenangan ini, seringkali kami, kita, melupakan sumber ketenangan itu sendiri. Sebagaimana saya kutip di awal tulisan, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. 

Allah-lah sumber ketenangan. Dengan mengenal-Nya, mempelajari nama-nama dan sifat-sifatnya, mentadabburi tanda-tanda kebesaran-Nya, membuat kita menjadi tenang. Kita tenang karena tahu dan yakin bahwa nasib, takdir kehidupan kita, termasuk rezeki dan ajal kita, telah ditulis dalam Lauh Mahfuz.

Bukan sembarang, yang menuliskan takdir itu adalah Allah yang Maha Mengatur, Maha Melihat, dan Maha Mendengar. Allah mengetahui doa-doa kita. Allah juga yang Maha Bijaksana, Allah telah menakar rezeki dan musibah bagi setiap orang. Dan bagaimana pun yang telah Allah tentukan bagi kita, kita tetap bisa tenang, tinggal menjalaninya saja dengan penuh tawakal.

Lalu, hubungannya dengan mengontrak rumah? 

Mengontrak atau membeli rumah, keduanya sama-sama baik asalkan dilakukan dengan cara baik-baik. Di satu sisi, membeli rumah terasa lebih menenangkan, di sisi lain, tidak juga. Rumah juga perlu perawatan, biaya rutin, belum lagi jika ada yang rusak. Belum juga mempertimbangkan jarak rumah-kantor.

Kalau sudah begitu, ternyata membeli rumah pun tidak lantas nyaman. Selama kita hanya fokus pada bungkus dan melupakan isi, maka akan sulit menemukan ketenangan. Kita terlalu mengandalkan diri sendiri dan lupa dengan Sang Pencipta. Maka, alih-alih ketenangan yang datang, kita justru semakin haus akan validasi dari orang sekitar.

Karena itu, ketika melakukan pencarian, maka fokuslah. Fokus memperbaiki diri, fokus mengingat Allah, memohon pada Sumber Ketenangan.


#30DWCJilid46
#30DWC
#Day28

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Resensi Teruslah Bodoh Jangan Pintar (Tere Liye)