Ketika Anak Didiagnosis TB


Menerima sesuatu itu umumnya mudah-mudah saja. Toh, tinggal terima saja, bukan memberi. Ada yang beri makanan, tinggal terima. Ada yang memberi bantuan, bisa ditimbang, lalu terima. Alhamdulillah, tinggal terima saja.

Namun, adakalanya menerima itu sulit sekali, perlu waktu. Di antaranya adalah menerima takdir yang menurut kita buruk. Astaghfirullaah. Padahal sejatinya kita tahu, tidak ada takdir yang buruk. Apalagi bagi seorang muslim, ketika diberi kesenangan dia harusnya bersyukur, dan ketika diberi ujian dia harusnya bersabar. Dan keduanya adalah hal baik yang mendatangkan keridaan Allah.

Itu pemahaman yang sudah sering sekali didengar dari kajian-kajian. Rasanya seperti ringan saja. Lain cerita ketika waktu praktiknya tiba. Seolah semua ilmu itu terlupakan, seolah semua hanya kata-kata hiburan. Karena kita tidak mau berpasrah, menerima keadaan, menerima takdir.

Salah satunya bagi saya adalah ketika menerima kenyataan bahwa anak kedua saya BB-nya sangat susah naik. Dan salah satu kemungkinan terkuat penyebabnya adalah karena infeksi TB. Kok bisa? Karena pembantu di rumah eyangnya positif TB, dan eyangnya sendiri pun menyusul setahun kemudian positif TB. 

Awalnya saya masih denial. Sungguh. Saya masih beralasan, ah, dia aktif kok, BB-nya ini sulit naik ya karena dia makannya memang susah. Dari tujuh hari, dia makan lahap palingan hanya satu dua hari. Sisanya sedikit sekali yang bisa masuk mulut.

Namun, setelah berbulan-bulan BB-nya hanya naik sedikit, akhirnya saya menyerah. Memang harus menerima kenyataan bahwa bisa jadi anak saya ini tertular TB. Saya memutuskan konsultasi dengan dokter Apin. Karena saya mem-follow beliau di IG, membaca buku beliau, saya merasa beliau bisa mendiagnosis dengan adil. Tidak over atau underdiagnose.

Dengan situasi dan kondisi yang saya ceritakan, dokter Apin dengan yakin langsung mengatakan, “Ini mah udah kemungkinan besar TB, Bu”. Bahkan kalaupun hasil mantoux negatif, beliau akan kasih obat pencegahan untuk kasus seperti ini. Baiklah, saya pun tidak kaget. Saya mengikuti saran beliau untuk melakukan rontgen dan tes mantoux. Hasilnya, rontgen kesan pneumonia atau TB, dan mantoux positif. 

Dokter di RSUD langsung meresepkan obat TB anak yang bisa diambil gratis di Puskesmas. Masih sedikit kurang yakin, saya mendatangi satu dokter lagi, dan pendapatnya ternyata sama. Barulah setelah itu saya bisa menerima bahwa anak ini memang TB. Walaupun secara klinis tidak ada gejala berarti (selain BB yang stuck).

Di bulan awal pengobatan masih terasa beraat sekali ketika harus meminumkan obat setiap hari. Namun, hal itu perlahan luntur ketika tak lama kemudian terlihat perbaikan yang nyata pada anak. Dia mendadak jadi lahap makannya! Alhamdulillah! Dia makan lahap sekali setiap kali makan. Dan setelah sebulan pengobatan, BB-nya naik. Bulan kedua juga. Sempat agak stuck lagi di bulan ketiga dan keempat, tapi di bulan kelima naik lagi cukup jauh. Alhamdulillah. 

Total dalam lima bulan sudah naik 1.5 kg. Ini prestasi besar siy menurut saya. Karena sebelumnya angka itu baru tercapai dalam setahun, bahkan lebih. Dengan ini, saya merasa sudah mengambil keputusan yang tepat, walaupun terlambat. Qadarullah. Sekarang sudah memasuki bulan keenam pengobatan. Semoga saja cukup hanya dengan enam bulan. Semoga Allah sembuhkan, lancarkan semuanya. Aamiin. 


#30DWC

#30DWCJilid46

#day22


Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Pengalaman Kuret Setelah Melahirkan

Lima Hal yang Membuat Bartimaeus Trilogy Menarik