Pengalaman Covid-19 di Keluarga
Gambar: Pixabay |
Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shalihat.. Per tanggal 12 Oktober lalu, suami saya sudah diperbolehkan keluar RS setelah dirawat selama delapan hari. Dan di tanggal 17 Oktober, isolasi mandiri anak saya juga sudah resmi selesai.
Nah, di tulisan kali ini saya akan cerita ngalor-ngidul tentang mampirnya si covid di keluarga saya. Ini lumayan panjang karena mostly curhat. Hahaha.
Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa teman-teman semua ambil dari pengalaman saya ini. :)
Awalnya itu tanggal 24 September 2020, suami mulai batuk kering dengan frekuensi jarang. Esoknya mulai mengeluh sakit tenggorokan. Dari sini saya sudah curiga covid dan langsung meminta suami memakai masker, saya juga.
Hari Sabtunya, kecurigaan makin besar karena suami demam, dan hari Minggu memutuskan untuk rapid test. Hasilnya non reaktif, dan diberikan obat oleh dokter. Saya sendiri sangsi dengan hasil rapid test, sudah banyak kasus rapid test ini false negative kan.
Mertua saya pun yang sudah lebih dulu covid, ya, begitu, rapid test beberapa kali hasilnya negatif padahal gejala sudah muncul.
Hari Minggu malam, anak saya yang berusia tiga tahunan juga demam. Dia demam semalaman dan tidurnya rewel, biasalah anak-anak kalau demam. Alhamdulillah pagi harinya demamnya sudah hilang dan anaknya aktif seperti biasa, tidak ada batuk dan lain-lain. Nafsu makannya pun normal, jadi saya tidak khawatir lagi. Alhamdulillah.
Tapi di hari Senin itu justru saya sendiri yang demam seharian. Badan terasa pegal-pegal, kepala pusing, lidah rasanya pahit, ga nafsu makan, kaki meraung-raung minta dipijitin, pinginnya leyeh-leyeh seharian. Wkwk.
Alhamdulillah keluhan itu hanya sehari, besoknya demam saya sudah hilang, makan sudah mulai enak, pegal juga tinggal sedikit. Hanya masih terasa agak pusing. Alhamdulillah juga saya batuk tuh hanya sedikit sekali.
Di sisi lain, suami walaupun demamnya juga sudah turun dan tenggorokan tidak sakit, tapi batuknya belum mereda. Malah semakin menjadi-jadi. Masih lemas juga, dan nafsu makan juga hilang karena lidah masih pahit.
Akhirnya dia ke dokter lain lagi, dan dikasih obat lagi. Tapi ngga ngaruh juga. Batuknya semakin menjadi, dan mulai muncul sesak nafas. Di hari Jumat, 2 Oktober, suami tes swab mandiri. Sehari kemudian keluar hasilnya positif covid. Pihak klinik tempat swab pun langsung menghubungi puskesmas sesuai tempat tinggal.
Jadi klinik ini memang koordinasi dengan puskesmas. Jika ada hasil swab positif maka akan langsung lapor ke puskesmas untuk tindak lanjut.
Kira-kira sejam setelah dikabari hasilnya, suami langsung ditelepon oleh petugas puskesmas setempat dan diberitahu kalau akan dijemput dengan ambulans hari itu juga. Karena suami ada keluhan batuk dan sesak, petugas puskesmas meminta suami dirawat di RSOB.
Di situ saya lega karena kalau di RS kan akan terpantau setiap hari oleh dokter, dan diberi pengobatan yang sesuai. Walaupun covid ini belum ada obatnya, tapi dokter taulah mana medikasi yang pas, karena diagnosisnya sudah jelas.
Tindak lanjutnya adalah saya dan anak harus tes swab juga. Kami dijadwalkan tes hari Senin, tes swab di RS Embung Fatimah. Waktu dan tempat swab ini ditentukan oleh puskesmas, ga bisa milih sendiri yak. Ini beda-beda siy di provinsi lain.
Mertua saya yang sudah lebih dulu covid, di Jakarta, diarahkan untuk swab sekeluarga di puskesmas setempat. Sedangkan di Batam ini swab untuk tracing dilakukan di RS.
Untuk swab, saya ditawari mau dijemput ambulans atau berangkat sendiri. Tentu saya pilih berangkat sendiri, yak. Biar ga heboh. Lagipula si bocil ditanya mau naik ambulans atau ngga jawabnya ga mau..hahaha..
Berbekal kemampuan nyetir dan parkir yang masih ecek-ecek, saya beranikan diri nyetir ke RSUD Embung Fatimah. Sampai sana, bocil nangis ga mau turun gara-gara saya bilang nanti idungnya dikorek. Hahaha.. Akhirnya bujuk rayu dulu lah ya.
Di gedung Tun Sundari RSUD Embung Fatimah (tempat khusus swab), saya setorkan dulu fotokopi KTP dan KK, lalu menunggu dipanggil. Banyak juga yang tes, dan rata-rata keluarga (suami istri dan anak-anak). Ketika tiba giliran kami, seperti yang sudah diprediksi, si bocil meraung-raung ga mau diswab. Untunglah swab ini cepat, petugasnya juga telaten sekali jadi tetap bisa walaupun anaknya nangis-nangis.
Ada juga anak balita yang ga nangis lho pas di-swab, anteng-anteng aja gitu kayak nothing happen.
Saya sendiri siy ngerasanya ga sakit, tapi bikin geli-geli nyebelin gimana gitu. Swab pun tergantung petugas juga. Ada yang bisa nge-swab dengan lembut dan minim efek, ada yang bikin perih. Suami saya pertama di-swab itu katanya perih, tapi ketika swab kedua ketiga tidak begitu.
Dua hari kemudian hasil swab keluar. Saya dikabari via WA oleh petugas puskesmas. Hasilnya, saya negatif, sedangkan anak saya positif. Sebagai catatan, walaupun suami sudah dibawa ke RS, saya tetap pakai masker di rumah, termasuk saat tidur. Karena ada kemungkinan semacam ini, hasil swab beda. Dan ternyata benar.
Saya sempat mengira justru swab saya yang positif dan anak yang negatif. Tapi ternyata malah sebaliknya.
Awalnya anak diminta isolasi di RS bersama bapaknya. Tapi dengan berbagai pertimbangan, saya meminta isolasi mandiri untuk anak, dan alhamdulillah diizinkan.
Suami dirawat di RSOB selama delapan hari. Alhamdulillah hasil swab sudah negatif, dan sudah boleh pulang dengan dibekali vitamin. Sementara anak selama 14 hari isolasi mandiri tidak ada gejala, jadi dinyatakan sembuh jg. Alhamdulillah.
Saya pribadi mengajukan isolasi mandiri karena anak tidak ada gejala, aktif, nafsu makan pun baik. Kedua karena di rumah hanya ada saya dan anak, tidak ada orang tua/saudara yang berisiko tertular. Ketiga karena anak masih balita dan belum bisa mandiri.
Keempat karena saya ansos. Wkwk. Tapi serius sih, kalau saya tipe yang sering dikunjungi tetangga mungkin jadi bahaya untuk isolasi mandiri. Dan selama 14 hari isolasi mandiri ini saya laporan ke petugas puskesmas terkait kondisi kesehatan anak dan saya.
Yang perlu digarisbawahi, untuk isolasi mandiri ini ada kriterianya ya, ga bisa sembarangan. Dan tiap provinsi bisa jadi beda kebijakan terkait ini. Untuk kriteria isolasi mandiri bisa dilihat di gambar berikut:
Sumbernya dari KMK 413, lebih jelasnya bisa dibaca di link berikut:Sedangkan untuk DKI Jakarta punya kriteria lebih ketat terkait isolasi mandiri:
https://www.instagram.com/p/CGCAo_sArvU/?igshid=s3who8ea0wvm
Saran saya, sekali lagi, banyak berdoa, patuhi protokol kesehatan, dan jangan panik. Bagi Anda yang sehat, ingatlah, Covid ini masih penyakit baru dengan tingkat keparahan yang beragam. Ada yang tanpa gejala, ringan, ada juga yang berat bahkan sampai meninggal. Tak hanya lansia, penderita Covid usia produktif pun banyak yang bergejala berat bahkan meninggal. Jadi jangan anggap sepele. Better safe than sorry.
Sedangkan bagi Anda yang saat ini positif Covid, atau jika ada keluarga yang positif Covid, tetap semangat, jangan putus asa. Menurut data, sebagian besar pasien Covid bisa sembuh. Insyaallah, badai pasti berlalu. :))
Sekian sharing yang panjang dan lama dari saya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Comments
Post a Comment