Masih Jatuh Cinta dengan Kumpulan Cerpen Kompas
Terima kasih kepada kakakku yang dulu senang mengoleksi buku-buku kumpulan cerpen berkualitas.
Saat kecil saya senang baca-baca buku milik kakak saya. Kakak saya kebetulan mengoleksi macam-macam buku, mulai dari Goosebumps, komik Doraemon, dan lain-lain. Kumpulan cerpen pilihan Kompas adalah salah satu yang saya baca.
Beberapa judul kumcer Kompas yang saya ingat itu Cinta Dalam Stoples, Kupu-Kupu Tak Berkepak, Jalan Asmaradana, dan Ripin. Dua yang pertama adalah yang paling berkesan, milik kakak saya. Sedangkan dua lainnya saya beli sendiri, bagus, tapi kurang berkesan. Ada satu lagi yang juga berkesan, kumpulan cerpen berjudul Parmin karya Jujur Prananto.
Dari buku-buku inilah saya membaca cerpen-cerpen karangan Gol A Gong, Gus Tf Sakai, Kuntowijoyo, Rosi L. Simamora, Jujur Prananto, dan banyak lagi. Nama-nama yang belakangan saya ketahui ternyata memang penulis andal.
Saya akan beberkan satu dua judul cerpen dan sekilas ceritanya yang masih saya ingat hingga sekarang (it’s been about 15 years!). Ada sebuah cerpen berjudul Wabah—nah, cocok kan sama keadaan sekarang—karangan Jujur Prananto. Wabah di sini bukanlah penyakit yang menyebar, namun kebodohan yang menyebar sampai memakan korban jiwa satu kampung. Awalnya, ada seseorang yang meninggal di kampung tersebut, kemudian tanggal meninggalnya dijadikan nomor togel oleh seorang warga lain. Mujurnya dia, nomor tersebut menang!
Kemujuran berlanjut, beriringan dengan kebodohan yang dibutakan uang. Warga pun tak segan membunuh demi mendapat nomor togel “keberuntungan”.
Ada lagi cerpen menyentuh hati, berjudul Bangku Bus. Berkisah tentang seorang pria yang setiap hari naik bus menuju dan pulang dari kantornya. Tapi, setiap hari ia selalu—selalu—memberikan bangkunya bagi orang lain ketika bus penuh. Apa sebabnya? Ternyata pria itu punya pengalaman menyedihkan yang membuat dia melakukan itu setiap hari. Hiks. Sedih.
Lain lagi dengan cerpen yang judulnya (kalau tidak salah) Ibu Senang Duduk di Depan Warung. Ceritanya, tentang nenek-nenek tua renta yang senang berlama-lama duduk di depan warung, warung milik anak dan menantunya. Lalu, apa masalahnya? Sejak si nenek rajin duduk di depan warung, pembeli menjadi berkurang, warung menjadi sepi. Mungkin karena orang-orang enggan melihat si nenek, dan memilih belanja ke warung lain. Kemudian, apa yang dilakukan anak dan menantunya? Hmm… saya tidak akan bocorkan di sini. Japri! Hahaha.
Ada beberapa cerita lagi yang samar-samar saya ingat. Tapi lupa judulnya.
Intinya, kumpulan cerpen pilihan Kompas ini tidak hanya menawarkan cerita, tapi juga menunjukkan bagaimana menyajikan kisah yang sederhana—atau yang kompleks juga ada—menjadi sesuatu yang menarik. Ada cerpen yang tanpa dialog, tapi bagus dan memuaskan. Ada yang hanya sebuah adegan, tapi dieksplor dengan begitu indah.
Sebab buku-buku inilah, saya jadi punya preferensi sendiri tentang cerpen yang menurut saya keren, dan cerpen yang biasa saja. Bukan semata karena tema yang berbobot, tema sederhana pun bisa sangat memikat jika penyajiannya tepat.
Sudah lama tidak berburu kumpulan cerpen Kompas, mungkin gaya cerpen sekarang sudah berbeda. Tapi entahlah, saya masih jatuh cinta dengan kumcer jadul ini.
Comments
Post a Comment