Yang Menyedihkan dari Antologi Zaman Sekarang
Sebenarnya saya agak ragu menuliskan ini. Tapi daripada uneg-uneg ini hanya menumpuk dalam hati, jadi, saya tulis juga akhirnya. Hahaha.
Oke, dari judul di atas, sudah jelas ya, saya akan bahas tentang antologi. Antologi yang saya soroti di sini adalah kumpulan cerita dari banyak penulis. Nah, apakah Anda termasuk yang pernah membuat antologi bersama teman-teman? Atau Anda sering membaca antologi?
Saat ini banyak sekali beredar buku antologi. Tak heran, mengingat penerbitan indie atau pun self publishing juga makin menjamur. Menerbitkan buku bisa jadi sangat mudah dan relatif murah. Tak ada yang salah dengan ini, justru sangat baik. Ini bisa memfasilitasi para penulis pemula yang belum berhasil menjebol gerbang penerbit mayor, sekaligus menjadi pembuka atau pengalaman pertama menerbitkan buku.
Tapi, yang menyedihkan dari antologi-antologi terbitan indie atau self publishing ini adalah kualitas yang kurang terjaga. Saya beberapa kali membaca buku antologi dan menemukan banyak sekali kesalahan penulisan, entah itu sekadar saltik (typo), atau memang karena penulisnya tak paham kaidah.
Ini sangat mengganggu bagi saya. Sungguh. Karena ide cerita yang bagus bisa sangat turun nilainya disebabkan kesalahan teknis semacam itu. Selain itu, ini seolah menunjukkan bahwa penulis tidak terlalu peduli dan tidak mau mencari tahu tentang kaidah menulis. Kalau penulis saja sudah tidak peduli dengan kaidah penulisan, lalu siapa yang akan peduli? Hanya badan bahasa? Miris, bukan?
Kesedihan selanjutnya adalah tema cerita yang kadang kurang spesifik. Hal ini membuat berbagai macam cerita dalam antologi menjadi seperti terlalu campur aduk. Sebuah antologi yang enak dinikmati menurut saya adalah yang seperti gado-gado, campuran macam-macam tapi saling mendukung dan enak!
Bisakah Anda bayangkan di dalam gado-gado tiba-tiba ada jamur tiram? Atau ditambah apel? Atau terong? Kan ngga nyambung toh? Walaupun sama-sama sayuran, tetap ada yang cocok ada yang tidak. Seperti itulah antologi yang beberapa kali saya baca akhir-akhir ini. Temanya kadang terlalu luas sehingga cerita di dalamnya jadi ke mana-mana.
Uneg-uneg selanjutnya tentang antologi, adanya ketimpangan antarpenulis. Maksudnya, ada cerita yang bagus banget, menarik, penulisannya benar. Ada juga yang ceritanya kurang menarik, penulisan pun kurang tepat. Ini saya temui tidak hanya di antologi terbitan indie, tapi juga antologi oleh penerbit mayor. Agak kaget juga sih, dan tentu ini sangat subjektif.
Tenang saja, tidak semua antologi begitu, kok. Ada juga antologi yang memang bagus. Salah satu antologi yang menurut saya lumayan, dan tidak terjebak pada kekurangan-kekurangan di atas. Yaitu antologi Baper Gak Pakai Lama yang pernah saya tulis resensinya. Buku ini tidak lepas dari typo, tapi cukup minim dibanding pada umumnya. Temanya pun sudah spesifik jadi tidak meluas kemana-mana. Dan karena penulis yang terlibat tidak terlalu banyak, cerita pun tidak terlalu jomplang.
Oiya, ada satu lagi catatan tentang antologi. Ini bukan dari saya, tapi dari Mba Windy Ariestanty, seorang editor senior. Catatan ini saya ambil dari notula Kelas Daring Narabahasa. Intinya, menurut Mba Windy, antologi sejatinya adalah pekerjaan sulit. Karena antologi yang baik seharusnya bisa menyajikan sebuah buku dengan banyak cerita, tapi dengan kualitas yang sama, dan ceritanya saling mendukung. Mba Windy sendiri pernah menemukan sebuah antologi yang ia tahu editornya bagus, namun hasil antologi itu menurutnya kurang oke dan hanya satu cerita yang bagus. Artinya, membuat antologi yang baik sebenarnya lebih sulit karena harus menyeleksi para penulis dan cerita.
Semoga ke depannya semakin banyak antologi berkualitas.
Comments
Post a Comment