Paling Tidak, Berempatilah!
Sebelum ada pesan “berdamai dengan corona”, yang selalu terngiang adalah “perang melawan corona”. Faktanya memang sampai saat ini kita masih berperang melawan corona. Dan ketika perang, tentu kita perlu senjata. Sayangnya, sejak dulu, Indonesia tak punya senjata canggih.
Saya masih ingat dalam pelajaran sejarah selalu disebutkan bahwa zaman dahulu kala, bangsa kita bisa menang melawan penjajah dengan bermodal tombak kayu. Sedangkan penjajah memiliki senjata mutakhir.
Mungkin kita lupa, bahwa sekarang pun senjata yang kita miliki masih tetap sama: gotong royong dan doa. Kita tidak punya senjata canggih melawan corona. Buktinya, di awal Covid-19 masuk ke Indonesia, laboratorium yang bisa mengecek hanya di Jakarta, di laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan milik Kementerian Kesehatan.
Ya, saat ini telah ada 103 laboratorium yang digunakan, tapi jumlah spesimen yang diperiksa tiap harinya masih minim. Jumlah kasus yang telah diperiksa spesimennya sampai hari ini baru sekitar 160 ribu. Sedangkan menurut panduan WHO, data yang bisa digunakan untuk menilai keadaan wabah ini minimal 1 pemeriksaan per 1000 penduduk per minggu. Artinya, untuk ukuran Indonesia dengan jumlah penduduk 256 juta, maka setidaknya harus ada 256 ribu pemeriksaan per minggu. Atau sekitar 37 ribu pemeriksaan per hari. Masih jauh sekali, bukan?
Kemudian, untuk melawan wabah Covid-19 ini, Menteri Kesehatan Korea Selatan mengatakan perlunya kepercayaan penuh dari masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian, masyarakat mau mematuhi aturan pemerintah terkait penanganan wabah. Ini adalah salah satu kunci Korea Selatan berhasil mengatasi wabah dalam waktu singkat tanpa lockdown. Apakah kita punya hal ini? Silakan jawab sendiri.
Lalu, senjata apa yang kita punya?
Kita hanya punya doa, dan gotong royong. Sejak dulu, itulah senjata kita. Jika sekarang kita tak bisa membantu secara aktif, paling tidak berempatilah! Tumbuhkan rasa empati kepada para petugas kesehatan yang setiap hari kelabakan menangani lonjakan pasien. Jika kita masih bisa mengeluh tentang lebaran yang sepi dan berbeda, mungkin para petugas kesehatan tak lagi bisa memikirkan lebaran.
Kita hanya bisa mengandalkan persatuan dan gotong royong yang katanya menjadi senjata bangsa Indonesia. Walaupun saat ini, entah ke mana senjata itu pergi, mungkin karena tak ada lagi empati.
Ah, jangan terlalu pesimis, kita masih punya doa. Di penghujung Ramadan ini, semoga semua mau berdoa agar Allah berkenan mengangkat wabah corona dari bumi. Amin.
#30DWCJilid23
#30DaysWritingChallenge
#Squad7
#Day27
Saya masih ingat dalam pelajaran sejarah selalu disebutkan bahwa zaman dahulu kala, bangsa kita bisa menang melawan penjajah dengan bermodal tombak kayu. Sedangkan penjajah memiliki senjata mutakhir.
Mungkin kita lupa, bahwa sekarang pun senjata yang kita miliki masih tetap sama: gotong royong dan doa. Kita tidak punya senjata canggih melawan corona. Buktinya, di awal Covid-19 masuk ke Indonesia, laboratorium yang bisa mengecek hanya di Jakarta, di laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan milik Kementerian Kesehatan.
Ya, saat ini telah ada 103 laboratorium yang digunakan, tapi jumlah spesimen yang diperiksa tiap harinya masih minim. Jumlah kasus yang telah diperiksa spesimennya sampai hari ini baru sekitar 160 ribu. Sedangkan menurut panduan WHO, data yang bisa digunakan untuk menilai keadaan wabah ini minimal 1 pemeriksaan per 1000 penduduk per minggu. Artinya, untuk ukuran Indonesia dengan jumlah penduduk 256 juta, maka setidaknya harus ada 256 ribu pemeriksaan per minggu. Atau sekitar 37 ribu pemeriksaan per hari. Masih jauh sekali, bukan?
Kemudian, untuk melawan wabah Covid-19 ini, Menteri Kesehatan Korea Selatan mengatakan perlunya kepercayaan penuh dari masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian, masyarakat mau mematuhi aturan pemerintah terkait penanganan wabah. Ini adalah salah satu kunci Korea Selatan berhasil mengatasi wabah dalam waktu singkat tanpa lockdown. Apakah kita punya hal ini? Silakan jawab sendiri.
Lalu, senjata apa yang kita punya?
Kita hanya punya doa, dan gotong royong. Sejak dulu, itulah senjata kita. Jika sekarang kita tak bisa membantu secara aktif, paling tidak berempatilah! Tumbuhkan rasa empati kepada para petugas kesehatan yang setiap hari kelabakan menangani lonjakan pasien. Jika kita masih bisa mengeluh tentang lebaran yang sepi dan berbeda, mungkin para petugas kesehatan tak lagi bisa memikirkan lebaran.
Kita hanya bisa mengandalkan persatuan dan gotong royong yang katanya menjadi senjata bangsa Indonesia. Walaupun saat ini, entah ke mana senjata itu pergi, mungkin karena tak ada lagi empati.
Ah, jangan terlalu pesimis, kita masih punya doa. Di penghujung Ramadan ini, semoga semua mau berdoa agar Allah berkenan mengangkat wabah corona dari bumi. Amin.
#30DWCJilid23
#30DaysWritingChallenge
#Squad7
#Day27
Comments
Post a Comment