Akhirnya Kegalauan Saya Dijawab oleh Ivan Lanin dan Windy Ariestanty

Kelas Daring Narabahasa

Maafkan judul yang agak kepanjangan ini. Tapi, demikianlah yang saya rasakan sekarang. Rasa plong, lega, puas, dan senang karena kegalauan saya sudah terjawab. Tentunya bukan kegalauan tentang percintaan, yak, melainkan tentang kepenulisan. Hehe.

Mungkin Anda juga mengalami kegalauan yang sama? Tak ada salahnya Anda membaca tulisan ini agar kegalauan kita sama-sama terhempaskan. Wkwk.

Siang tadi saya mengikuti kelas daring yang diadakan oleh Narabahasa. Kelas dengan tema “Penyuntingan Bahasa Dasar untuk Penulis” itu menghadirkan duet Ivan Lanin dan Windy Ariestanty sebagai pemateri. Anda tentu sudah mengenal keduanya, ‘kan? Belum? Ok, bukan masalah. Saya akan kenalkan sedikit.

Ivan Lanin adalah wikipediawan pencinta bahasa Indonesia yang sudah beberapa tahun ini aktif menjawab berbagai pertanyaan seputar bahasa via Twitter. Beliau juga berafiliasi dengan Komisi Istilah Badan Bahasa, dan penulis buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?.

Kemudian, Windy Ariestanty, nama yang tak asing bagi saya. Pertama kali bertemu dengan Mba Windy sekitar 13 tahun yang lalu saat beliau menjadi pemateri pelatihan penulisan di sekolah saya. Bertemu kedua kali sekitar lima tahun lalu saat first reader workshop GagasMedia. Dan ketiga kalinya tadi siang via Zoom. Mba Windy adalah editor novel Aroma Karsa.

Okeh, jadi, apa nih kegalauan saya yang dijawab oleh kedua narasumber? Saat sesi tanya jawab, saya mengajukan pertanyaan yang benar-benar membuat saya galau: Apakah dalam novel atau tulisan nonfiksi harus benar-benar patuh pada kaidah penggunaan konjungsi?

Seperti yang kita tahu, konjungsi ada yang untuk antarkalimat, antarparagraf, dsb. Nah, kadang—atau malah sering—saya ingin meletakkan konjungsi di awal kalimat, padahal tidak seharusnya. Contoh kata “dan”, seharusnya tidak boleh di awal kalimat. Lalu, bolehkah hal seperti ini?

Menurut Mba Windy, hal seperti itu sah-sah saja, asalkan penulis punya alasan kuat untuk meletakkan kata tersebut di situ padahal itu bukan tempat seharusnya. Mba Windy juga menambahkan, jika kita punya alasan kuat, tak sekadar menambah efek dramatis, maka tak apa bereksperimen. Siapa tahu nantinya hal itu bisa menambah khasanah bahasa Indonesia.

Senada dengan Mba Windy, Uda Ivan pun mengatakan boleh saja melanggar aturan konjungsi dengan syarat si penulis sebenarnya tahu penggunaan yang tepat. Jika si penulis tahu penggunaan yang benar, namun tetap memilih melanggar karena ada alasan kuat, maka boleh. Ini yang disebut licentia poetica. Bukan karena penulis tidak paham kaidah kemudian asal langgar saja.

Mendengar jawaban tersebut, saya merasa legaaa. Hahaha. Jadi, sudah paham ya, gaes? Intinya, sebagai penulis kita harus paham kaidah yang benar. Baru kemudian mencoba melanggar aturan hal-hal baru. Wkwk.

Sebenarnya ada dua pertanyaan lagi yang saya ajukan yang membuat saya benar-benar galau dan benar-benar lega. Tapi lain kali saja dibahasnya, ya. Ditabung dulu ide tulisannya. Haha.

Semoga tulisan kali ini bermanfaat!

#30DWCJilid23
#30DaysWritingChallenge
#Squad7
#Day21

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Kalis

Review Novel The Star and I (Ilana Tan)