Gebyar Perayaan Kemerdekaan (Cerbung Part 1)

“Pantas aja, dia itu sering tanya, ‘17-an berapa hari lagi?’. Eh, ternyata begini.”
Diyani mendengar ibunya bercerita pada para tetangga. Ibunya bercerita tentang ayah Diyani yang baru saja meninggal semalam. 
Walaupun baru berusia delapan tahun, Diyani memahami apa yang terjadi, bahwa ayahnya baru saja pergi untuk selamanya. Namun yang Diyani belum mengerti adalah tentang perasaannya sendiri. Haruskah dia menangis tersedu-sedu? Atau haruskah ia mencoba tegar? Bagaimana harusnya ia merasa? Ia tak mengerti. Hari telah siang, matahari cerah memancarkan sinar. Pemakaman telah selesai. Diyani ikut mengantar jenazah ayahnya ke pemakaman dan melihat prosesinya. 
Hari ini Diyani merasa ada dua hal yang hilang, pertama yaitu ayahnya, dan yang kedua adalah gebyar perayaan kemerdekaan. Ya, hari ini adalah Hari Peringatan Kemerdekaan RI. Seperti biasa selalu ada lomba, panggung, dan keramaian. Tapi entah di mana keramaian itu, Diyani tak mendengarnya sama sekali. Padahal ia adalah pecinta lomba 17-an.

Sudah menjadi tradisi bagi Diyani untuk pergi ke lapangan di pagi hari 17 Agustus untuk ikut upacara. Kemudian dilanjutkan dengan ikut berbagai lomba yang bisa dia ikuti, dan di sore hari adalah waktu paling menyenangkan yaitu pembagian hadiah. Diyani sangat senang dengan rangkaian kegiatan saat 17 Agustus. Tapi kali ini tidak. Diyani merasa hari ini sangat sunyi, sepi. Tak ada gebyar dan gegap gempita itu. Kenapa? Ia bertanya dalam hati. Tapi ia sudah tahu jawabannya. Ia tahu, gebyar peringatan kemerdekaan itu bukannya tidak ada. Lomba-lomba itu pasti tetap ada, ia hanya tak mendengarnya, ia tak mendatanginya. Keramaian itu telah tertutup oleh pertanyaan besar dalam hatinya. Apa yang seharusnya kurasakan sekarang?

#30DWC
#30DWCJilid21
#Day15
#ImWritingInLove

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Novel "Represi"

Kalis

Review Novel The Star and I (Ilana Tan)